Piala Dunia 1978, Antara Aib dan Kebanggaan Argentina


Hidup tertekan dan terteror. Bahkan, sekitar 15.000 hingga 30.000 orang telah terbunuh atau hilang. Siapa pun yang menentang pemerintah di bawah junta militer Jenderal Jorge Rafael Videla (1976-1981), maka bakal bermasalah atau berakhir hidupnya.

Inilah masa kelam Argentina yang dalam tekanan apa yang disebut Dirty War. Kondisi itulah yang melatari kehadiran Piala Dunia 1978 di Argentina. FIFA sudah memutuskan bahwa Piala Dunia ke-11 digelar di negeri itu pada 1966. Ternyata, perubahan politik begitu cepatnya dan Argentina yang sebelumnya dipimpin Isabel Martinez de Peron yang meneruskan jabatan suaminya, Juan Peron, tiba-tiba dalam kekuasaan junta militer yang kejam.

Gelap dan kelam. Begitu warga Argentina merasakan hidup mereka di bawah junta militer. Gambaran dunia luar terhadap Argentina juga begitu kelam. Maka, sempat muncul pesmisme terhadap penyelenggaraan Piala Dunia 1978 itu, baik dari dunia luar maupun rakyat Argentina sendiri.

Namun, Videla memanfaatkan event besar ini untuk mengubah citra negerinya dari pandangan luar maupun rakyat sendiri. Ia memerintahkan 10 persen anggaran dasar negara untuk membiayai Piala Dunia 1978. Ia juga meminta pergelaran ini dilakukan sesukses mungkin, dan kalau perlu Argentina juara.

Penyelenggaraan Piala Dunia 1978 memang sukses. Bahkan, Argentina akhirnya juara. Namun, itu tak menghilangkan rasa getir dan kepedihan rakyat Argentina yang merasa tertekan selama pemerintahan Videla.

Piala Dunia 1978 dianggap hanya propaganda junta militer dan sebuah aib sejarah negeri itu. Namun, di sisi lain, ini juga menghadirkan kebanggaan. Sebab, Mario Kempes dkk akhirnya tampil sebagai juara setelah mengalahkan Belanda 3-1 di final. Untuk pertama kalinya, Argentina juara dan mereka sejenak bisa berpesta di bawah kekejaman junta militer.

Maka, Piala Dunia 1978 mengingatkan aib sejarah Argentina, sekaligus menghadirkan kebanggaan. Dan, kesuksesan 35 tahun lalu itu diperingati oleh Argentina di Stadion Monumental, Selasa (25/6/2013) waktu setempat.

Pelatih yang membawa Argentina juara Piala Dunia 1978, Cesar Luis Menotti, ikut angkat bicara.

"Saya kira, kelompok pemain (di Piala Dunia 1978) ini berhak atas pengakuan dunia dan merayakan kemenangan," kata Menotti.

"Saya saat itu sangat menderita, bukan karena saya sendiri, tapi juga karena ada beberapa pemain yang tidak diakui oleh dunia sepak bola karena sepak bola dihubungkan dengan politik," tambahnya.

Menotti sadar betul, Piala Dunia 1978 juga memiliki arti luas bagi rakyat. Meski ini dipakai junta militer untuk propaganda, namun rakyat juga pantas menikmatinya.

"Para pemain ini bermain demi rakyat. Mereka tampil di lapangan dan memberikan segala yang dimiliki. Menggabungkan para pemain dengan diktator, bagi saya merupakan aib. Sebab, tujuan utama kami adalah mencapai final dan itu sangat mengagumkan," kata Menotti yang kini berumur 74 tahun.

Tanggal 25 Juni 1978 itu, Argentina memang tampil di final. Tim Tango dipimpin kapten Daniel Passarella. Mereka tim yang tak begitu dikenal dunia. Namun, setelah juara, maka nama-nama mereka kemudian menjadi mendunia. Selain Passarella, juga Ubaldo Fillol (kiper), Alberto Tarantini (bek), Americo Gallego dan Ricardo Villa (gelandang), Leopoldo Luque, Daniel Bertoni, Mario Kempes (penyerang), juga Osvaldo Ardiles (gelandang).

Prestasi jadi tonggak sejarah sepak bola Argentina. Ini kehormatan besar buat Argentina. Sebuah anugerah besar bagi rakyat di tengah ketertekanan. Kehormatan dan kebanggaan menjadi kenangan indah. Aib sejarah politik biarlah menjadi pelajaran agar tak terulang.

Toh, setelah itu, Argentina tak lagi menangis. lewat sepak bola, mereka sering bisa lepas tertawa. Apalagi, pada 1986 muncul bintang Diego Maradona yang membawa mereka kembali juara Piala Dunia. Dan, kini mereka memiliki Lionel Messi yang membawa citra indah Argentina, setidaknya sepak bolanya.

0 komentar:

Post a Comment